Overthinking : Otak Ngajakin Perang

Coba deh pikirin rutinitas lo. Dari bangun tidur sampai balik lagi ke kasur, berapa lama waktu yang habis cuma buat tatap layar? Bangun tidur langsung buka HP, scroll notif dulu, terus lanjut Instagram, TikTok, WA kadang bisa sejam sendiri padahal muka aja belum dicuci. Lanjut sekolah/kuliah/kerja, buka laptop, ngerjain laporan. Capek, pindah ke HP lagi buat cari hiburan. Siang makan sambil nonton YouTube. Malam nonton Netflix sambil scroll TikTok lagi. Tiba-tiba, alarm subuh udah kedengeran, dan siklus itu muter terus.

Dan lo sadar kan, lo literally duduk doang seharian. Layar terus, mata perih, leher kaku, tapi entah kenapa enggak bisa berhenti. Rasanya udah kayak jadi bagian dari hidup yang normal. Padahal justru itu yang bahaya kita nganggep ini hal biasa.

Duduk terlalu lama di depan layar itu pelan-pelan ngerusak tubuh. Enggak cuma bikin mata lo capek, tapi juga bikin postur badan makin kacau. Badan lo bungkuk tanpa sadar, leher maju ke depan, pundak naik, punggung kaku kayak papan triplek. Tangan pegal gara-gara pegang HP terus, pinggang nyeri, kaki mulai kesemutan. Semua itu datang bukan karena fisik lo kerja keras, tapi justru karena lo diam. Kelamaan.

Teknologi yang niatnya bikin hidup lebih gampang, ternyata juga pelan-pelan bikin badan kita hancur dari dalam.

Dan bukan cuma soal fisik, mental juga ikut kena. Bayangin, duduk depan layar 8 sampai 10 jam sehari, tapi seringnya enggak benar-benar fokus. Kerjaan kebuka, tapi jari otomatis pindah ke HP lagi, buka medsos, scroll sebentar, terus balik lagi ke kerjaan. Begitu terus, kayak siklus enggak ada ujungnya.

Dan lucunya, setelah semua itu kelar, bukannya berhenti, tapi malah balik lagi ke layar buat cari hiburan lain. Tubuh udah teriak minta istirahat, mata udah kering, tapi tetap buka HP, nonton video sampai ketiduran. Terus besok paginya bangun dengan keluhan yang sama: “Kok gue capek terus ya? Padahal enggak ngapa-ngapain.”

Karena lo enggak gerak, duduk kelamaan, mata kerja terus, tapi badan lo enggak pernah diaktifin. Otak digenjot habis-habisan, tapi tubuhnya kayak dimatiin.

Kalau dipikir-pikir, hidup kita sekarang kayak punya nyawa kedua yang dipindahin ke layar. Dan kalau enggak lo atur, layar itu pelan-pelan bakal nyedot semua energi sampai habis. Ingat, lo masih muda, Bro. Sayang banget kalau badan rusak cuma gara-gara duduk terus tiap hari.

Efek jangka panjangnya? Jangan kaget kalau metabolisme makin melambat, berat badan pelan-pelan naik, risiko penyakit jantung dan diabetes meningkat, ditambah nyeri tulang belakang yang makin sering muncul. Mood jadi enggak stabil, gampang kesal,gampang marah,  gampang drop. Fokus pun makin buyar, susah banget konsentrasi walau cuma buat hal kecil.

Dan yang bikin ngeri, semua itu asalnya dari satu kebiasaan yang kelihatannya sepele, duduk terlalu lama di depan layar, setiap hari, tanpa jeda.

Enggak heran kalau kepala lo bising. Lo enggak pernah bener-bener kasih ruang buat hening.

Lo udah capek seharian, badan udah rebahan, lampu udah dimatiin, HP udah disimpen di samping bersiap untuk tidur tapi otak lo malah ngajakin perang. Kayak ada sesuatu yang perlu diselesaikan. Tiba-tiba mulai mikir dari hal kecil sampe yang hal yang besar, seperti “tadi gue senyum, gue kesannya jutek nggak ya?” Terus yang berat-berat juga nongol “Sebenarnya Tuhan nyiptain gue buat apa sih?” dan suaranya kayak pengumuman darurat yang muter-muter di lorong gelap kepala.

Kadang lo ngebayangin skenario alternatif kayak nonton film paralel “Gimana kalau dulu gue pilih jurusan lain?” “Gimana kalau gue ambil kesempatan itu?” Atau skenario paling jaga-jaga “Gimana kalau besok gue gagal lagi?” Semua kemungkinan itu kayak playlist kegelisahan yang direpeat tanpa henti. Padahal tubuh lo ngasih sinyal capek, mata merem, alarm mesti dibangunin besok pagi, tapi kepala masih stay up.

Sunyi malam menjadi medan perang yang dasyat. Enggak ada suara motor, enggak ada notifikasi WA, enggak ada orang yang manggil nama lo. Justru karena terlalu sepi, suara paling keras datang dari kepala lo sendiri. Pikiran lo kayak toa di stadion kosong bergema, makin keras, makin susah dihentikan. Dan parahnya, makin lo coba tidur, makin jelas suara itu. Kayak ada sesuatu yang maksa lo buat ngadepin semua hal yang udah lama lo simpan, semua luka, semua rasa enggak cukup, semua pertanyaan yang lo sendiri enggak tahu jawabannya.

Di situ, di antara napas pelan dan kegelapan kamar, lo belajar sesuatu yang aneh, bahwa ketenangan siang dan perang malam itu bisa hidup barengan. Dan meski pikiran muter tanpa henti, ada juga kehalusan, momen-momen kecil di mana lo sadar kalau overthinking bukan cuma musuh, kadang dia cermin yang kasar, nunjukin tempat-tempat yang perlu diberesin. Tapi malam itu tetap keras, lo cuma bisa diam, ngelamun sambil mandang langit-langit, nunggu pagi yang entah bakal bawa jawaban atau cuma jam kerja biasa.

Itu dia overthinking malam-malam, wabah halus yang nempel di semua orang yang pura-pura tenang di siang hari tapi lagi berperang diam-diam waktu malam. Otak itu licik, dia pintar cari bahan buat diputar-putar. Mulai dari memori yang udah usai tapi masih disimpan di rak pikiran, kalimat yang nggak sempat dibalas, sampai masa depan yang entah bakal kejadian apa enggak, tapi udah dihitung-hitung sampai detilnya.

Masalahnya ini bukan soal lo kurang tidur doang. Ini lebih dalam dari sekadar mata panda atau badan lemes pas bangun pagi. Ini soal beban mental yang lo simpan rapat-rapat, yang enggak pernah benar-benar lo lepas. Siang hari, lo jadi aktor paling jago, senyum ke orang, jawab basa-basi, pura-pura cuek sama komentar orang lain. Tapi semua itu cuma topeng. Karena pada akhirnya, pas dunia udah diam, lo sendirian di kamar, semua yang lo tahan itu keluar tanpa filter.

Sederhananya, overthinking adalah ketika otak lo enggak pernah bisa diam. Lo muter-muterin hal yang sama berkali-kali, padahal enggak ada jawaban baru. Lo mikirin yang udah lewat, padahal enggak bisa diubah. Overthinking itu kayak punya radio di kepala yang volumenya selalu nyala, dan parahnya enggak ada tombol off.

Dan yang bikin capek bukan mikirnya, tapi rasa stuck-nya. Kayak jalan di labirin yang enggak ada pintu keluar. Lo coba tenang, malah makin ribut. Lo bilang jangan dipikirin, malah makin jadi.

Padahal, sebagian besar isi itu cuma asumsi, ketakutan yang dibesar-besarin, atau luka lama yang tiba-tiba nongol. Bukan kenyataan, tapi pikiran lo memperlakukan itu seolah-olah nyata.

Dan lucunya, otak lo tuh bisa jahat banget. Dia bisa bikin lo percaya kalau lo gagal, padahal lo lagi berproses. Dia bisa bisikin kalau lo sendirian, padahal di luar sana banyak orang yang ngerasain hal sama. Bedanya, kita semua udah kebiasaan pura-pura kuat, jadi enggak ada yang benar-benar kelihatan rapuh.

Overthinking tiap malam itu bukan tanda lo lemah, tapi tanda lo terlalu banyak mikir sendirian. Terlalu jarang cerita, terlalu sering ngejaga image, terlalu keras sama diri sendiri. Lo pengin semua sempurna, pengin enggak pernah salah, pengin jadi versi terbaik lo tiap hari. Tapi kenyataannya, lo juga manusia. Lo bisa capek, lo bisa ragu, lo bisa ngerasa gagal. Dan itu normal.

Yang enggak normal justru kalau lo maksa semuanya baik-baik aja, padahal di dalam hati lo lagi runtuh. Karena makin lo pura-pura, makin sepi rasanya. Dan makin sepi, makin keras suara di kepala yang bilang lo enggak cukup.

Kalau overthinking lo tiap malam udah sampai ganggu tidur, ganggu kesehatan, ganggu kerjaan, bahkan ganggu hidup, berhenti bilang, “Ah, ini cuma kepikiran dikit.” Enggak, ini serius. Lo enggak bisa terus-terusan pura-pura kuat sambil ngedumel dalam hati. Lo harus mulai kasih ruang buat diri lo sendiri.

Bukan berarti harus nemuin solusi instan, tapi sekadar ngasih jeda. Waktu kecil buat lo berhenti lari dari isi kepala lo. Bisa lewat nulis di buku, ngobrol sama teman yang beneran lo percaya, atau sekadar duduk sendiri sambil dengerin suara hati tanpa buru-buru ngejudge. Karena semakin sering lo berani dengerin apa yang ada di kepala, semakin lo kenal siapa diri lo sebenarnya. Dan dari situ, baru bisa pelan-pelan lo beresin satu per satu.

Coba mulai dari hal kecil. Kalau kepala udah terlalu penuh, ambil kertas atau catatan HP, tulis aja semua yang muter di pikiran lo. Enggak usah rapi, enggak usah dipikirin susunan katanya. Tulis biar keluar dari kepala. Kadang begitu ditulis, beban yang tadinya kayak batu besar jadi lebih ringan.

Terus, jangan lupa cerita. Serius, lo enggak harus nanggung semuanya sendirian. Cerita ke orang yang beneran bisa dipercaya, atau kalau malu, bisa sekadar ngobrol santai. Karena sering kali yang bikin overthinking berat bukan masalahnya, tapi karena lo simpan sendiri. Bukan juga lo harus buka semua ke orang random juga. Tapi ada bedanya antara “nyimpen semua” dan “memilih satu atau dua orang aman untuk cerita.” Keberanian buat nunjukin rapuh tanpa takut dicap lemah.

Coba bilang satu kalimat: “Gue lagi nggak oke belakangan ini.” Gak usah buka panjang. Satu kalimat itu sering cukup buat ngerem tabrakan. Nggak perlu langsung curhat panjang. Mulai dari “gue lagi capek” kalau diterima, bisa lanjut. Kalau nggak, minimal lo udah mulai ngomong jujur. Minta bantuan bukan berarti lo gagal. Itu alat sama seperti ke dokter kalau badan sakit. Mental juga butuh pemeriksaan.

Belajar juga bedain mana yang bisa lo kontrol, mana yang enggak (Stoicism). Kalau itu masa lalu, ya udah, biarin. Kalau itu masa depan, fokus aja ke langkah kecil hari ini. Karena jujur aja, kebanyakan hal yang lo pikirin waktu overthinking biasanya cuma asumsi, belum tentu kejadian.

Dan satu lagi, kasih waktu buat tubuh lo tenang. Jalan sebentar, tarik napas dalam, olahraga ringan, atau sekadar matiin HP sejam sebelum tidur. Kadang yang lo butuhin bukan jawaban, tapi istirahat.

Overthinking enggak bakal hilang sepenuhnya, tapi bisa dikendalikan. Karena makin lo kenal diri sendiri, makin lo sadar kepala lo itu bukan musuh, cuma butuh diajak kompromi. Dia cuma bisa kita kelola. Kadang datang lagi tengah malam, kadang muncul di saat-saat sepi. Tapi sekarang lo tahu, lo enggak sendirian. Semua orang punya perang di kepalanya masing-masing.

Jadi jangan terlalu keras sama diri lo. Lo enggak harus selalu punya jawaban, enggak harus selalu kuat, enggak harus selalu sempurna. Cukup ambil napas, kasih jeda, dan pelan-pelan belajar nerima kalau enggak semua hal harus lo pikirin sampai habis.

Karena hidup itu bukan tentang mikirin semua kemungkinan, tapi tentang berani jalan satu langkah hari ini. Sisanya, biar waktu yang jawab.

Comments

Popular Posts