Sekedar Terlihat Baik

Berbicara tentang kebaikan…

Sebenarnya, mulai dari mana, ya?

Ada yang pernah benar-benar mikir
apa sih definisi perbuatan baik atau perbuatan jahat?

Karena jujur aja, gue sendiri masih sering ngerasa bias.
Apa yang menurut gue baik, belum tentu beneran baik di mata orang lain.
Apa yang menurut gue tulus, bisa aja dilihat sebagai pencitraan.
Dan apa yang gue anggap adil, bisa aja ternyata menyakiti yang lain.

Mungkin ini urusan hati, atau mungkin ada penjelasan dari ilmu filsafat, psikologi, atau bahkan agama.
Tapi gue pribadi, jujur aja, masih ngeliat semua ini dari kaca mata yang buram.
Kadang gue ngelakuin sesuatu yang menurut gue bener,
tapi ternyata efeknya nyakitin orang lain.
Lalu siapa yang salah? Gue? Situasi? Atau ekspektasi?

Kita tuh sering banget dikasih tau:
“Berbuat baiklah.”
Tapi nggak ada yang bener-bener ngasih tahu:
“Baik yang seperti apa?”

Karena kenyataannya,
Kebaikan itu bukan soal apa yang lo lakuin,
tapi gimana orang lain ngerasainnya.
Dan di situlah letak konfliknya.

Kadang gue mikir,
jangan-jangan kebaikan itu bukan sesuatu yang absolut,
tapi hasil negosiasi antara niat kita dan dampaknya buat orang lain.

Jadi, apakah masih penting untuk jadi “baik”?
Atau kita hanya perlu berusaha untuk tidak menjadi alasan orang lain terluka?

Entahlah.
Gue masih nyari jawabannya.
Tapi mungkin, perjalanan mencari definisi kebaikan itu…
juga bagian dari menjadi manusia.

Kalau dari gue pribadi,
jujur aja, gue ngeliatnya begini

Kita tuh sering banget ngeliat sesuatu itu jahat, bukan karena emang jahat,tapi karena kita nggak tau sepenuhnya soal hal itu.

Kita cuma liat permukaannya,
kita nilai dari luar,
dari sudut yang kita pahami,
padahal kebenarannya bisa aja jauh lebih kompleks.

Dan giliran kita ngeliat sesuatu yang “baik”,
seringkali karena itu sesuai sama ideologi kita,
selaras sama value yang udah ditanam dari kecil,
atau cocok sama apa yang selama ini kita yakini sebagai “kebenaran”.

Tapi... itu kan berarti bias, ya?
Karena kebaikan yang kita klaim,
hanya berlaku dari sudut pandang kita sendiri.

Gue jadi mikir,
jangan-jangan selama ini,
baik dan jahat itu bukan soal mutlak
tapi cuma soal siapa yang cerita, dan dari mana lo denger ceritanya.

Contohnya gini
Seseorang mencuri buat ngasih makan adiknya yang kelaperan.
Salah? Iya.
Tapi jahat? Belum tentu.
Kita cuma tau “mencuri itu buruk”,
tapi nggak pernah duduk bareng sama realita di baliknya.

Makanya, gue ngerasa,
daripada buru-buru bilang sesuatu itu baik atau jahat,
mending kita tahan dulu.
Belajar ngeliat dari sisi yang lain.
Karena bisa jadi,
yang kita anggap jahat, sebenernya cuma jalan hidup yang belum kita pahami.

Jadi ya,
kalau dipikir-pikir,
kayaknya kita emang nggak punya hak penuh juga,
buat langsung bilang sesuatu itu baik, buruk, jahat, bener, atau salah.

Karena yang kita lihat tuh, seringnya cuma potongan.
Fragmen. Cuplikan. Sudut.
Dan dari situ kita udah buru-buru bikin kesimpulan.

Padahal kalau mau jujur,
kita seharusnya coba lihat lebih jauh.
Dari atas.
Helikopter view, kata orang.

Tapi ya itu dia,
di titik itulah, kebanyakan dari kita nggak mau tau.
Nggak sempat. Nggak peduli.
Atau mungkin, terlalu nyaman buat cepat menghakimi
daripada repot-repot memahami.

Lalu muncul pertanyaan besar:
“Salah nggak sih kalau kita menilai sesuatu dari awal?”

Dan jawabannya,
Ya, bisa salah, bisa nggak.

Karena yang namanya penilaian itu
seringkali lahir dari ketidaktahuan
dan dibentuk dari apa yang pernah kita alami.
Pengalaman pribadi, trauma, ajaran masa kecil,
semuanya ikut main peran.

Jadi salah? Belum tentu.
Tapi bener juga? Belum tentu.

Yang pasti,
begitu kita sadar bahwa perspektif kita sempit,
harusnya itu jadi alarm:
“Eh, mungkin gue perlu nanya lebih banyak sebelum menilai lebih jauh.”

Karena bisa jadi,
kita selama ini terlalu sibuk jadi hakim,
tanpa pernah rela jadi saksi.

Gue sendiri pun sadar,
gue cuma manusia biasa
yang masih sering salah dalam menilai sesuatu.
Sumpah, masih banyak banget salahnya.

Kadang niat gue tulus,
tapi hasilnya malah nyakitin.
Kadang gue cuma pengen bantu,
tapi ternyata malah bikin runyam.

Dan jujur,
itu bikin gue sering mikir.
"Kok gue ngerasa kayaknya masih belum baik, ya?"

Kayak, ada yang kurang.
Ada bagian dari diri ini yang belum utuh.
Belum ngerti, belum cukup dewasa,
atau mungkin, belum cukup paham gimana cara menjadi “baik” yang sebenarnya.

Karena makin ke sini,
gue ngerasa, jadi baik itu bukan sekadar nggak nyakitin orang,
tapi juga soal mau belajar ngertiin orang, walaupun itu nggak gampang.

Dan sering kali,
yang bikin kita gagal bukan karena kita jahat,
tapi karena kita nggak tahu harus gimana.
Kita pikir kita udah cukup baik,
padahal mungkin, belum.

Tapi ya itu,
gue masih belajar.
Masih jalan.
Masih jatuh.
Masih nabrak tembok sana-sini.
Dan gue harap,
itu cukup buat jadi alasan gue buat terus tumbuh.

Tapi ya,
yang makin bikin gue bingung akhir-akhir ini
kita tuh sering disuguhin sama berita-berita yang,
jujur aja, bikin muak.

Tentang orang-orang yang tampil “baik” di depan kamera,
tapi kelakuannya di belakang, gila.
Yang kata-katanya sopan, adabnya manis,
tapi ternyata nggak beradab juga hidupnya.

Ada yang ngerti agama, hafal ayat,
ceramah ke sana sini soal moral dan akhlak,
tapi cara bicaranya justru seperti orang yang nggak punya ruh agama sama sekali.

Ada yang ngomong soal keadilan, kesejahteraan,
tapi kenyataannya,
yang disejahterakan cuma perutnya sendiri.

Gue ngeliat itu semua,
dan makin sadar,
bahwa penampilan kebaikan itu bisa banget dibuat.
Bisa direkayasa. Bisa dijual.
Dan itu,
bikin gue makin takut buat percaya begitu aja sama apa yang kelihatan.

Karena ternyata,
“kelihatan baik” dan “benar-benar baik” itu
adalah dua hal yang jauh banget bedanya.

Dan yang lebih nyakitin,
kadang orang-orang kayak gitu justru dipercaya.
Didukung. Diangkat. Diidolakan.

Sementara orang yang jujur, yang polos, yang apa adanya,
sering kali malah dibungkam, dijatuhin, bahkan dibilang “kurang berakhlak”
karena nggak tahu cara tampil manis di depan publik.

Dan, gue cerita kayak gini,
bukan karena gue orang baik.
Salah besar kalau ada yang mikir begitu.

Gue ini orang yang masih sering banget salah.
Sering disalahpahami.
Penuh kekurangan.
Penuh kebodohan yang kadang gue sendiri malu buat ngakuin.

Tapi, dari semua kegagalan gue,
gue belajar satu hal:

Gue percaya,
di luar sana,
ada orang-orang yang sering banget dipandang sebelah mata.
Yang sering dikira “nggak bener”
cuma karena tampilannya beda,
cara bicaranya nggak manis,
atau karena dia nggak pinter jual citra.

Mungkin lo salah satunya.

Yang sebenarnya,
jauh lebih baik.
Jauh lebih tulus.
Jauh lebih punya hati dari mereka yang terlanjur dianggap paling benar.

Dan kalau nggak ada yang bilang ke lo,
biar gue yang bilang sekarang
Lo baik kok. Bahkan mungkin lebih baik dari yang lo kira.

Jangan berhenti jadi diri lo.
Jangan berhenti tumbuh.
Karena dunia ini kadang salah dalam menilai,
tapi Tuhan nggak pernah salah lihat hati.

Mungkin kalian tau rasanya susah.
Tau rasanya nggak ngerti apa-apa.
Tau rasanya sendirian di tengah keramaian.
Tapi kalian tetap coba berbuat baik,

Bukan karena kalian nggak punya alasan buat marah,
tapi justru karena kalian nggak mau orang lain ngerasain sakit yang sama kayak yang kalian rasain.

Dan itu
nggak apa-apa.

Nggak perlu diakui.
Nggak perlu disorot.
Nggak perlu dibalas dengan tepuk tangan atau pujian.

Karena semua itu,
adalah urusan kalian dengan Sang Pemberi Hidup.

Dan menurut gue
itu baru orang baik.
Bukan yang paling sering bicara soal kebaikan,
tapi yang tetap memilih baik
meskipun nggak ada yang lihat.

Karena kebaikan
pada akhirnya bukan soal apa yang kita tahu,
tapi bagaimana kita memperlakukan orang lain.

Kebaikan itu
adalah bahasa yang bisa didengar oleh orang tuli,
dan dilihat oleh orang buta.

Nggak butuh kata-kata indah.
Nggak butuh panggung.
Nggak butuh sorotan.

Cukup dengan tindakan kecil yang tulus
yang keluar dari hati yang pernah hancur,
tapi tetap memilih untuk tidak menghancurkan yang lain.

Jadi
bersikap baiklah.
Bukan karena lo pengen dilihat sebagai orang baik,
tapi karena semua orang yang lo temui
mungkin sedang berjuang keras untuk tetap jadi manusia yang utuh.
Mereka juga sedang belajar.
Sedang jatuh.
Sedang bangkit.
Sama seperti lo.

Dan kalau kebaikan lo bisa jadi pelipur lara,
walau hanya sebentar,
itu udah lebih dari cukup.

Satu hal yang gue yakini sampai hari ini:
Orang yang sungguh-sungguh berbuat baik.
nggak akan pernah mikirin untung atau rugi.

Nggak ngitung materi.
Nggak nunggu ucapan terima kasih.
Nggak nunggu balasan.

Karena yang dicari itu bukan imbalan,
tapi rasa puas dalam batin,
rasa tenang karena tahu kita sedang berbuat sesuatu yang benar.

Dan kebahagiaan yang muncul setelah itu.
nggak bisa dihitung dengan uang.
Nggak bisa ditimbang pakai logika dunia.

Itu bentuk kebahagiaan yang cuma bisa dirasain,
bukan dijelasin.
Dan sekali kita kenal rasa itu
percaya deh—kita bakal nyari terus.
Karena ternyata,
membahagiakan orang lain, adalah cara paling sederhana untuk membahagiakan diri sendiri.

Dari pengalaman gue sendiri,
gue sadar satu hal yang nggak pernah gue duga sebelumnya:

Berbuat baik itu bisa bikin orang lain bahagia
tapi ternyata, juga bikin diri sendiri bahagia.

Orang yang terbiasa atau bahkan senang, berbuat kebaikan,
akan memancarkan aura kebaikan dari dalam dirinya.
Dari cara dia berbicara,
cara dia bersikap,
hingga cara dia memperlakukan sesama.

Kalau boleh diibaratkan
orang seperti itu benar-benar kecanduan berbuat baik.
Bukan candu yang membuat lemah,
tapi candu yang justru membuat jiwanya merasa utuh.

Dan rasa itu.
bikin nagih.

Berbuat baik, sekecil apa pun,
bisa jadi candu.

Candu yang nggak ngerusak,
tapi justru menyembuhkan.

Candu yang nggak bikin kita lupa daratan,
tapi justru bikin kita lebih “manusia”.

Dia nggak akan tenang
kalau belum melakukan satu kebaikan pun hari itu.
Dia akan mencari lahan untuk berbagi,
mencari celah untuk menolong,
mencari alasan untuk tetap peduli.

Dan ketika ada yang butuh bantuan,
atau ada yang sedang dalam kesulitan,
dia justru bersyukur, karena merasa telah diberi kesempatan oleh Tuhan
untuk menenangkan jiwanya lewat kebaikan.

Karena kebaikan itu
nggak selalu soal uang, kekayaan, atau barang.
Kebaikan itu bisa sesederhana sepasang telinga yang mau mendengar,
atau senyuman tulus yang membuat seseorang merasa tidak sendirian.

Dan di dunia yang semakin keras ini…
kebaikan seperti itu adalah anugerah.

Karena setiap kali kita bikin orang lain merasa lebih dihargai,
lebih dimengerti,
lebih didengar
kita juga sedang menyelamatkan sisi paling rapuh dari diri kita sendiri.

Dan kebaikan sekecil itu,
percaya deh, nggak akan pernah sia-sia.

 

Comments

Popular Posts