Lelaki Tidak Bercerita
Kata orang, jadi cowok itu gampang, karena yang susah menjadi seorang pria.
Laki-laki, sejak
kecil, diajari untuk kuat.
Dibilang,
“jangan cengeng,”
“kalau capek, diam saja,”
“kalau jatuh, bangkit sendiri.”
Tapi tak ada yang
benar-benar mengajari…
bagaimana caranya jadi pria yang utuh.
Karena jadi pria
bukan cuma soal punya perut six pack atau suara berat.
Bukan cuma soal kerja keras sampai lupa istirahat.
Dan bukan sekadar soal bisa menafkahi.
Seorang pria
datang bukan hanya membawa harta,
bukan hanya membanggakan tahta,
tetapi juga membawa kesiapan diri.
Siap untuk gagal dan tetap bangkit.
Siap untuk disakiti tapi tak membalas dengan kebencian.
Siap untuk tetap tenang di tengah hiruk pikuk dunia yang kadang terasa seperti
bercanda.
Dunia tidak mau
mendengarkan perjuangan seorang lelaki, karena dunia berjalan terlalu kejam
bagi para lelaki yang sedang berjuang.
Kesedihannya
sering dianggap lemah.
Air matanya dilarang jatuh.
Dan saat ia lelah, yang ditanya bukan “kenapa?”
Tapi “kok kamu nggak kuat?”
Padahal,
pria juga manusia.
Punya luka.
Punya rasa ingin dimengerti.
Punya harapan untuk dicintai bukan karena pencapaiannya…
Tapi karena hatinya.
Dan di
balik pundak yang tampak kokoh,
ada beban yang sering tak terlihat.
Karena jadi pria bukan tentang harus kuat setiap waktu…
tapi tentang berani tetap berjalan meski dunia kadang tak berpihak.
Perjuangan bukan
sekadar ucapan.
Bukan sekadar kata-kata manis yang diucapkan di tengah semangat membara.
Ia bukan pula sesuatu yang perlu dibanggakan di depan banyak orang.
Karena sejatinya…
perjuangan adalah cerita.
Cerita yang kita
bawa dalam diam.
Yang kita simpan dalam peluh, air mata, dan malam-malam tanpa tidur.
Cerita yang kadang tak dimengerti siapa pun,
selain diri kita sendiri dan Tuhan yang melihat dari awal.
Dan ketika kita
sampai…
Ketika tujuan yang dulu terasa jauh akhirnya ada di depan mata…
Saat itulah kita bisa menoleh ke belakang dan berkata pelan:
"Ternyata, semua ini tidak sia-sia."
Karena perjuangan
bukan soal dikenang orang lain,
tetapi soal kita yang tak menyerah ketika semua alasan untuk berhenti ada.
Perjuangan bukan
tentang seberapa keras kamu bersuara,
tapi tentang seberapa kuat kamu bertahan, bahkan saat suara hatimu sendiri
mulai meragukanmu.
Jadi, jika hari
ini kamu masih berjalan,
masih mencoba,
masih memeluk impianmu erat-erat,
percayalah… kamu sedang menulis cerita yang suatu saat akan kamu baca kembali
dengan bangga.
Dan saat itu
tiba,
kau akan mengerti:
perjuanganmu adalah hadiah terbaik yang pernah kamu berikan untuk dirimu
sendiri.
Namun j ika tolak
ukur kesuksesanmu adalah orang lain, atau sekedar kekayaan
maka selamanya kamu akan menganggap dirimu gagal
dan mungkin takan pernah bisa bersyukur, maka sampai kapan pun…
kamu akan merasa belum cukup.
Akan selalu ada
yang lebih kaya.
Selalu ada yang lebih cepat sampai.
Selalu ada yang lebih dipuji.
Dan jika kamu
terus membandingkan dirimu dengan mereka,
perlahan kamu akan kehilangan arah — bahkan kehilangan dirimu sendiri.
Kamu mulai
memaksakan diri untuk terlihat hebat,
padahal hatimu lelah.
Kamu mulai tersenyum di luar,
padahal jiwamu kosong.
Dan yang paling menyedihkan adalah…
kamu mulai lupa apa yang dulu benar-benar membuatmu bahagia.
Sukses yang
sejati bukan tentang angka di rekening,
bukan tentang siapa yang paling viral,
bukan tentang sorak sorai orang asing yang hanya datang saat kamu di atas.
Sukses yang
sejati adalah ketika kamu membawa kebahagiaan,
dan dirimu pun ikut merasa bahagia.
Ketika kamu
menjalani hidup dengan damai,
bekerja dengan tenang,
dan tidur dengan hati yang bersyukur —
itulah keberhasilan yang tidak bisa dicuri siapa pun.
Jadi jangan
pernah kehilangan dirimu sendiri
hanya demi mengejar sesuatu yang semu.
Hidup terlalu singkat untuk dipakai berpura-pura menjadi orang lain.
Sejatinya, tak
banyak orang yang benar-benar peduli pada apa yang sudah kamu capai.
Mereka tak melihat keringatmu, tidak menghitung malam-malam panjang yang kamu
lewati sendirian,
tidak tahu berapa kali kamu hampir menyerah tapi tetap memilih bertahan.
Yang mereka lihat
hanyalah permukaan.
Yang mereka cari hanyalah
celah.
Satu kesalahan kecil seringkali cukup untuk menghapus seribu usaha baikmu.
Dan yang lebih
menyakitkan,
tak sedikit dari mereka diam-diam menunggu…
menunggu kapan kamu jatuh,
menunggu kapan kamu lelah,
menunggu saat mereka bisa berkata:
"Tuh kan, gue bilang juga apa?."
Jadi jangan heran
jika dalam perjalananmu nanti,
sorak-sorai itu jarang terdengar.
Dukungan itu tak selalu datang.
Tepukan di pundak kadang hanya hadir saat kamu sudah sampai di puncak.
Maka cukup
fokuslah.
Jangan habiskan waktu membuktikan pada mereka yang memang tak ingin mengerti.
Gantungkan mimpimu setinggi langit, lalu naiklah perlahan.
Tak perlu cepat, cukup pasti.
Dan ketika kamu
sampai —
saat semua kerja kerasmu terbayar,
saat impianmu menjadi nyata —
percaya satu hal ini:
Hanya keluargamu…
dan pasanganmu yang setia,
yang layak ikut menikmati manisnya kemenangan.
Mereka yang
mendoakanmu dalam diam.
Mereka yang menyemangatimu tanpa pamrih.
Mereka yang tetap bersamamu —
bukan karena kamu siapa,
tapi karena kamu adalah kamu.
Kita sering tidak
sadar…
bahwa apa yang kita lakukan hari ini,
yang terlihat biasa,
yang mungkin terasa sepele,
kelak akan menjadi sesuatu yang kita rindukan.
Hari-hari yang
kini kita jalani dengan tawa, lelah, atau bahkan diam,
suatu saat akan berubah jadi kenangan.
Kita terlalu
sibuk hidup di dalamnya,
hingga lupa bahwa waktu tidak akan menunggu.
Yang kita tahu…
kita hanya ingin bersenang-senang,
menikmati hidup sebisa mungkin,
tertawa sekeras mungkin,
tanpa berpikir bahwa semua ini akan berlalu.
Tapi begitulah
hidup.
Ia bergerak cepat, diam-diam.
Hari ini kamu tertawa bersama temanmu,
besok mungkin kalian sibuk dengan jalan masing-masing.
Hari ini kamu bisa memeluk orang tuamu,
besok mungkin hanya bisa memandang langit dan berdoa dalam diam.
Jika itu tentang
kebahagiaan…
kejarlah.
Jika ada yang bisa membuatmu tertawa tanpa pura-pura,
pertahankan.
Jika ada impian yang membuatmu merasa hidup,
usahakan.
Karena Tuhan
tidak pernah diam.
Ia selalu menyertai setiap
langkahmu —
bahkan saat kamu merasa sendirian,
bahkan saat kamu tidak yakin harus ke mana.
Jalani hidup
dengan sepenuh hati.
Lakukan yang terbaik yang kamu bisa.
Dan percaya…
kelak, semua ini akan menjadi cerita indah yang kamu simpan di dalam dada,
sambil tersenyum dan berkata:
"Aku
pernah hidup di masa itu.
Dan aku bersyukur
pernah melewatinya."
Kalau langkahmu
terasa berat...
Kalau usahamu seolah tak pernah membuahkan hasil...
Kalau rasanya kamu sudah mencoba segalanya,
tapi tetap saja gagal,
tetap saja jalanmu terasa buntu...
Mungkin bukan
caramu yang salah.
Mungkin bukan mimpimu yang terlalu tinggi.
Dan mungkin juga bukan doamu yang kurang khusyuk.
Tapi coba
tanyakan dalam hati...
Apakah ada hati yang pernah kamu lukai?
Terutama hati orang tua.
Kadang, kita
terlalu sibuk mengejar langit,
hingga lupa bahwa rumah pun butuh kita tengok.
Terlalu semangat berlari mengejar mimpi,
hingga tak sadar ada doa yang belum kita jemput,
ada restu yang tertinggal di ambang pintu.
Kita lupa, betapa
kuatnya perasaan orang tua.
Luka kecil di hati mereka bisa menjadi penghalang besar di jalan kita.
Dan sebaliknya...
sebuah senyum tulus dari mereka,
doa pelan dari bibir yang mulai bergetar karena usia,
bisa menjadi pintu terbuka yang tak bisa dibuka oleh usaha sekuat apa pun.
Maka, jika
langkahmu berat...
Berhentilah sebentar.
Tengok ke belakang.
Ingat siapa yang dulu membukakan pintu pertama untukmu.
Siapa yang diam-diam berdoa untukmu, bahkan saat kamu tak pernah minta.
Pulanglah.
Minta maaf jika pernah menyakiti.
Minta restu sebelum melangkah lagi.
Karena terkadang,
satu pelukan dari orang tua...
lebih ampuh daripada seribu rencana yang kamu susun sendiri.
Doa ayah...
Tak selalu terucap lantang.
Kadang bahkan tidak pernah
kamu dengar secara langsung.
Tapi percayalah,
doanya seluas langit.
Dan di mana pun kamu berada,
kamu bisa berteduh di bawah naungannya.
Ayah tidak selalu
bertanya,
"Sudah makan?"
atau mengucap,
"Semangat ya nak."
Seperti ibu.
Tapi diam-diam,
ia memastikan kamu tetap punya rumah untuk pulang.
Tetap punya semangat untuk berjuang.
Dan tetap punya alasan untuk tidak menyerah.
Rindu ayah itu
seperti matahari pagi.
Hangat, tapi tidak membakar.
Terang, tapi tidak menyilaukan.
Dan meskipun kamu pergi sejauh apa pun,
kamu bisa melihat jejaknya…
dalam keteguhan langkahmu,
dalam keberanianmu menatap dunia.
Kadang kita lupa,
bahwa laki-laki sepertinya juga bisa menangis—
dalam diam, di balik pintu,
saat kamu pergi jauh untuk mengejar mimpi.
Dan saat dunia
terasa berat,
saat langkah terasa melelahkan,
ingatlah…
mungkin bukan kekuatanmu sendiri yang membuatmu bertahan,
tapi doa seorang ayah—yang tak pernah kamu dengar,
tapi selalu menjagamu dalam senyap.
Karena tidak semua luka bisa sembuh dengan maaf. Ada dendam yang lahir bukan dari kebencian tapi dari rasa sakit yang terlalu dalam untuk dijelaskan
Kesuksesan yang
tumbuh dari air mata orang lain, takkan pernah terasa manis saat sampai di
puncak tertinggi karena hati yang dilukai akan terus mengiringi. Sukses sejati
bukan soal tinggi pencapaian, tapi tentang siapa yang tetap kau jaga, di
sepanjang perjalanan.
Comments
Post a Comment